Terima Anakmu, Apa Adanya
Kadang, kita melihat anak teman kita, usia 3 tahun sudah pandai membaca quran, anak yang lain usia 4 tahun sudah pandai membaca dan berhitung dengan sangat pintar. Lihat lagi anak yang lain, usai 3 tahun pandai mewarnai dg sangat cantik, yang lain lagi jadi peserta terbaik acara ini itu. Lihat status fb teman ttg diskusi bersama anaknya yg usia 4 tahun dg gaya bahasa yg sangat tinggi, seolah anaknya sudah spt org dewasa dlm berkata2. Lihat lagi anak usia 10tahun sudah selesai hafalannya, ikut olimpiade ini itu.
Lalu, kita lihat di dalam rumah kita sendiri, hanya ada seorang anak kecil, berusia 3 atau 4 tahun, yang belum bisa “apa2”, jangankan mengaji, hijaiyah pun ia belum bisa membedakan mana ba mana ta. Jangankan membaca, berhitung, apalagi diskusi dg gaya bahasa tingkat tinggi. Ia hanyalah anak biasa, yg bisa menangis ketika kita tinggal, yg hny berceloteh ala anak2 pada umumnya, dan melakukan segala aktivitas yang.. biasa s.a.j.a
Lalu kita bersedih hati. Mengapa anak kita tak seperti anak teman2 kita yg lain, yg sering kita lihat foto2 dan baca status kebanggaannya di medsos. Lalu kita bertanya, apa yg bisa menjadikan anak2 mereka sebegitu sholehnya, sebegitu cerdasnya. Tips dan trik kita dapatkan. Kemudian kita praktekkan pada anak kita d rumah. Lalu hasilnya? Jauh dari dugaan. Sangat berbeda dari ekspektasi kita.
Anak kita tetaplah anak kita. Ia masih seperti seperti sedia kala. Masih menangis ketika ditinggal, masih malu untuk cium tangan dg guru, masih belum bersuara ketika diajak bicara dg orang lain yg ia belum kenal.
Dan, kita berfikir.. apa yang salah dg asuhan dan didikan kita? Kenapa anak kita tak spt anak2 lain.
Kawan, berhentilah sejenak. Lihat kawan kita yang lain. Yang tak pernah menulis atau posting foto ttg anaknya di medsos. Kawan kita yang luput dr doa kita, yang mendapatkan ujian anaknya usia 5 tahun belum bisa bicara hingga harus terapi dengan biaya yang tak murah, usia 7 tahun belum mau belajar membaca, dan beragam ujian lainnya. Belum lagi yang diuji anaknya meninggal saat usia 2tahun, yang belum dikaruniai anak hingga bertahun2.
Padahal kita? Allah mudah kan kita untuk mengandung, melahirkan. Anak kita pada saat usia 1 tahun bisa berjalan, usia 2 tahun sudah bisa bicara dg lucunya. Kita lupa bahwa itu adalah nikmat yang Allah berikan. Bukankah kita harusnya bersyukur? Saat anak kita sudah bisa duduk manis ketika makan dan minum, ketika anak kita mau berbagi mainan atau makanan dengan anak lain.
Anak kita tetaplah anak kita. Terima ia apa adanya, wahai bunda. Jangan pernah membandingkan mereka dg sesama saudaranya apalagi dg anak teman kita, dg anak orang lain. Galilah potensi2nya dibidang lain yang akan muncul dengan perlahan.
Bersabarlah. Kita tak tahu apakah anak2 yang masa kecilnya terlihat begitu sholeh, apakah akan sholeh selamanya, 5, 10, 15 atau 20 tahun kemudian.
Kita tak tau, apakah anak kita yg kini “sulit diatur” nantinya 10 atau 20 tahun akan spt apa.
Bolehlah kita pelajari segala macam teori, namun pada prakteknya, kembali lagi pada diri kita. Evaluasi. Bahwa ketika praktek tak semudah teori yang ada, mungkin itu ujian. Murni ujian untuk diri kita. Apakah kita akan sabar atau sebaliknya.
Sekali lagi, biarkan anak2 orang lain tumbuh dg potensinya masing2, pun dengan anak kita. Mungkin, kita tidak tau amalan apakah yg dilakukan org tuanya yg membuat anak2 itu menjadi begitu sholeh. Mungkin, kita tidak tau, bahwa saat ini Allah sedang menguji keimanan dan kesabaran kita, yang nantinya akan membuahkan hasil dikemudian hari.
Sungguh tak ada yang bisa menjamin. Yuk, kita berusaha menjadi orangtua yang selalu mengevaluasi diri sendiri, kemudian bertekad memperbaiki kesalahan yg pernah dilakukan. Bertaubat. Karena dari lisan2 kita, disitulah dosa yang sering luput.